STB — Seimbang di Papan Titian

Bulan terakhir ini kami berkumpul dengan formasi lengkap. Anak yang pergi merantau kembali setelah sekian lama dinanti.

Entah kenapa momentumnya pas sekali, tepat waktu itu Abah merapikan file dokumentasi keluarga kami.

Otomatis sekalian membuka foto dan video yang terekam di masa kecil kami. Kami menimbrung, sesekali menertawakan foto konyol semasa usia kami dapat dihitung jari. Saling meledek soal pose-pose aib satu sama lain, misal, "Siapa tuh yang kepalanya gundul cengar-cengir di depan lemari?"

Atau menengok video kebersamaan kami sekaligus nostalgia suasana lingkungan kami belasan tahun lalu. Masih sepi, tampak asri dengan semak belukar di belakang rumah, atau bangunan masjid yang bentuknya masih sama.

Rasa-rasanya aku sangat ingin berterimakasih kepada Abah yang sudah mendokumentasikan masa kecil kami dengan baik. Aku masih dapat menjumpai fotoku delapan belas tahun lalu, usia yang tepat untuk disapih. Atau foto bayi adik-adikku dengan ciri khas di wajah mereka yang terbawa hingga saat ini. Alhamdulillah, alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shaalihaat.

Betapa aku jadi menyadari, bahwa tidak ada yang benar-benar buruk dari kehidupan kami. Menyimak ratusan memoar yang ada menjadi saksi bisu atas upaya terbaik Abah dan Umi. Beliau telah mengerahkan seluruh nafasnya, demi mengizinkan kami tumbuh, dewasa hingga detik ini. Bahkan tak akan habisnya serangkaian kalimat untuk mengenang bagaimana beliau membesarkan kami, tidak akan cukup memori handycam untuk mengabadikan tiap perjalanan keluarga kami.

* * *

Jika dahulu sempat tercetus pikiran bahwa orangtua harus sempurna, menuntut bahwa hak sebagai anak harus tertunai seluruhnya, menyamaratakan setiap orangtua haruslah sama.

Pada awalnya aku ditampar oleh kalimat ini,

"Minta-minta hak terus! Sebelum kamu menuntut, tunaikan dulu kewajibanmu!"

Momen itu saat aku masih di bangku sekolah dasar, merajuk dengan tantrum mencari perhatian. Diberi kalimat itu membuatku diam membeku.

Seiring waktu berjalan, setelah mencoba memaklumi tercipta sebuah ruang pemahaman bahwa, "Ya namanya juga manusia, bukan nabi boy!"

Eh salah, nggak dengan kalimat itu juga.

"Orangtua hanya ingin yang terbaik bagi anaknya, tidak akan beliau membiarkan kita terjerembab di jurang begitu saja. Toh orangtua juga manusia, sama seperti anak. Sama-sama belajar. Ada salah yang kadang dilakukan, baik sadar maupun tidak.  Terlepas dari itu semua (selagi bukan manusia bejat), beliau adalah darimana saya berasal dan tempat saya dibesarkan." Intinya begitu.

Pasangan manusia itu, kedua orang yang dijadikan satu dan diberi tugas oleh Allah untuk menjadi orangtua. Tugas kemudian rasa bahwa kami (anak) adalah bagian dari tubuh beliau-lah yang memungkinkan naluri itu tumbuh. Naluri untuk melakukan dan memberikan apapun untuk tumbuhnya kami, sebuah cinta yang begitu besar sampai tidak menginginkan apapun kecuali anaknya bahagia.

Tapi kadang kami (anak) abai dengan kalimat pertama. Membuat kami mengambil tindakan tutup mata atas fitrah manusiawi beliau dan lupa terhadap upaya kebaikan (yang jumlahnya tak terhitung) beliau kepada kami.

Padahal sebenarnya sederhana saja, tinggal melapangkan dada, menerima, dan selanjutnya life must go on.

* * *

Tidak ada perjalanan yang benar-benar sempurna, duka dan suka hadir bergantian, menciptakan keseimbangan dalam momen yang ada.

Dan kata Abah, selalu ada titik batasan. Paling tidak kita mengerahkan upaya agar selalu berada di titik nol, jangan sampai terbenam. Serendah-rendahnya kita, tetap jaga kaki yang menapak. Sebagai manusia dengan keterbatasan, maksimalkan agar selalu ada pada titik kebaikan.

* * *

Wallahu a'lam bish shawwab, semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan atas kita semua, aamiin..
📌 Yogyakarta, 13 Januari 2025 | 15:39 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Sederhana Jatuh Cinta di Sosial Media